Mengenai Saya

Foto saya
klaten, jawa tengah
Paguyuban “Manunggal Jati” adalah komunitas pengrajin Mebel yang berada di Gadingwetan, Belangwetan Klaten Utara. berdirinya komunitas ini merupakan representasi dari terakumulasinya sekian banyak permasalahan yang dihadapi selama bertahun-tahun oleh pengrajin mebel khususnya di Belangwetan.

Senin, 18 Oktober 2010

Wisata Adat di Klaten


1 Upacara Apem Yaawiyuu

Perayaan Yaaqowiyuu di Jatinom, Klaten, banyak dikunjungi puluhan ribu wisatawan lokal dan mancanegara. Mereka berkumpul di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom, menunggu acara sebar kue apem yang dilakukan setelah selesai salat Jumat. Untuk tahun ini sebanyak 5 ton kue apem yang diperebutkan para pengunjung.

Menurut kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang artinya Tuhan mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Bagi petani, bisa untuk tumbal sawah agar tanaman selamat dari segala bencana dan hama penyakit.

Bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah. Saking percaya hal itu ada yang kaul (nadar) menggelar wayang kulit, atau pertunjukan tradisional yang lain.

Maka, tak heran jika pada puncak acara peringatan yaaqowiyuu ini pengunjung melimpah yang datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Acara tradisi budaya tersebut digelar untuk mengenang jasa Ki Ageng Gribig, tokoh ulama penyebar agama Islam di Jawa, yang menetap dan meninggal di Jatinom.

Asal muasal kue apem itu dari Mekah yang dibawa Ki Ageng Gribig untuk oleh-oleh anak cucunya. Karena tidak cukup, maka Nyi Ageng Gribig membuat apem lagi sekaligus untuk dibagikan kepada penduduk Jatinom. Sejak itu orang daerah ini ikutan membuat apem untuk selamatan. Perayaan yaqowiyu di Jatinom, diharapkan menjadi salah satu objek wisata menarik di Klaten.

Upacara ini mulai pertama kali berbentuk majelis pengajian yang dikunjungi oleh umat Islam dan masyarakat sekeliling Jatinom. Upacara ini diselenggarakan setiap tahun sekali pada hari Jumat pertengahan bulan Sapar. Adanya Upacara ini dinamakan Yaqowiyu diambil dari doa Kyai Ageng Gribig sebagai penutup pengajian yang berbunyi : Ya qowiyu Yaa Assis qowina wal muslimin, Ya qowiyyu warsuqna wal muslimin, yang artinya : Ya Tuhan berikanlah kekuatan kepada kita segenap kaum muslimin, doa tamu itu dihormati dengan hidangan kue roti, dan ternyata hidangannya kurang, sedang tamunya masih banyak yang belum menerimanya.

Nyai Ageng segera membuat kue apem yang masih dalam keadaan hangat untuk dihidangkan kepada para tamu undangan tersebut. Majelis pengajian ini sampai sekarang setiap tahunnya masih berjalan, yang dilakukan pada malam Jumat dan menjelang sholat Jumat pada pertengahan bulan Sapar, setiap tahunnya Doa Kyai Ageng Gribig itu dibacakan dihadapan hadirin, para pengunjung kemudian menyebutkan Majelis Pengajian itu dengan sebutan nama : ONGKOWIYU yang dimaksudkan JONGKO WAHYU atau mencari wahyu. Kemudian oleh anak turunnya istilah ini dikembalikan pada aslinya yaiut YAQOWIYU.

Sedanng di lokasi ini terdapat juga peninggalan Kyai Ageng Gribig berupa : gua Belan, Sendang Suran, Sendang Plampeyan dan Oro oro Tarwiyah. Disamping itu masih ada satu peninggalan yaitu Masjid Alit atau Masjid Tiban. Perlu kiranya ditambahkan disini bahwa sepulangnya Kyai Ageng Gribig dari Mekah tidak hanya membawa apem saja tetapi juga membawa segenggam tanah dari Oro oro Arofah dan tanah ini ditanamkan di Oro oro Tarwiyah. Adapun Oro oro ini disebut Tarwiyah karena tanah dari Mekah yang ditanam Kyai Ageng Gribig yang berasal dari Padang Arofah ketika beliau sedang mengumpulkan air untuk bekal untuk bekal wukuf di Arofah pada tanggal 8 bulan Dzulhijah. Dari tanggal 8 Dzulhijah ini dinamakan Yaumul Tarwiyah yang artinya pada tanggal itu para jamaah Haji mengumpulkan air sebanyak banyaknya untuk bekal wukuf di Arofah

Tahun ini peringatan tersebut berlangsung hari Kamis (28 Januari 2010) kemarin. Rangkaian acaranya diawali gunungan apem tersebut diarak rombongan orang dari halaman Kantor Kecamatan Jatinom, dengan rute jalan protokol menuju Masjid Alit hingga Masjid Gedhe yang menjadi tempat dimakamkannya Ki Ageng Gribig. Jalur Kirab Gunungan Apem tahun ini lebih panjang daripada jalur tahun sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, Gunungan Apem melintasi Balaikelurahan Jatinom, akan tetapi pada tahun ini kirab, melintasi jalan protokol. Rombongan terdiri atas grup drum band dari SMPN 1 Jatinom, grup reog, jajaran pejabat Pemkab Klaten yang terdiri atas perwakilan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) serta sejumlah camat yang berpakaian jawa.Sebelum sampai di Masjid Gedhe, kedua gunungan apem mampir sebentar di Masjid Alit. Di masjid ini, rombongan disambut H Sukamto, salah seorang pengurus masjid.

Di masjid ini pula, dibacakan doa yang dipimpin langsung H Sukamto. Dalam doanya, dia berharap Kirab Gunungan Apem membawa berkah bagi semua warga di Jatinom.

Sesampainya di Masjid Gedhe, kegiatan penyerahan gunungan apem kepada keturunan ki Ageng Gribig, keluarga Murtadho Purnomo dilakukan. Penyerahan apem diwakili oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten, Bapak Drs H Indarwanto MM kepada keluarga Murtadho Purnomo. Di masjid inilah, dua buah gunungan itu beristirahat selama semalam.

dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig dan dilanjutkan dengan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai pada hari Kamis sebelumnya. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat bersama di Masjid Gedhe. Selesai jumatan, gunungan lanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat, yang telah disemayamkan semalam di dekat masjid, diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang Plampeyan (tanah lapang di pinggir Kali Soka, di selatan masjid dan makam Ki Ageng Gribig).

Arak-arakan terdiri dari peraga Ki Ageng Gribig, Bapak Bupati H Sunarno SE M.Hum, Muspida, kedua gunungan, putri domas, dan para pengawal. Kemudian peraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya, dia menyerahkan apem yang ditempatkan dalam panjang ilang (keranjang terbuat dari janur) kepada Bupati Klaten. Bupati mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem dalam panjang ilang kepada pengunjung. Kemudian, petugas penyebar yang berada di dua menara segera mengikutinya dengan melemparkan ribuan apem. Ribuan pengunjung pun tanpa dikomando berebut apem, bahkan sampai terinjak kakinya atau bertabrakan gara-gara ingin menangkap apem. Suasana rebutan apem benar-benar meriah. Dalam waktu singkat 4 ton apem sumbangan dari para warga sekitar habis tak tersisa.


Group drum band SMP N 1 Jatinom yang ikut memeriahkan perayaan Yaaqowiyu

Grup reog yang ikut memeriahkan perayaan Yaaqowiyuu

Jajaran pejabat Pemkab Klaten yang terdiri atas perwakilan SKPD serta sejumlah camat yang berpakaian beskap

Penyerahan apem diwakili oleh Bpk Drs , Bapak Drs H Indarwanto M.M ( Sekda Klaten)

kepada keluarga Murtadho Purnomo.

Sambutan Bapak Bupati H Sunarno SE M.Hum pada Perayaan Yaaqowiyuu

Bapak Bupati H Sunarno SE M.Hum pada Perayaan Yaaqowiyuu Nyekar di makam Ki Ageng Gribig

Bapak Bupati H Sunarno SE M.Hum mengawali upacara penyebaran

dengan melempar apem dalam panjang ilang kepada pengunjung

Gunungan apem lanang,dikenal dengan nama Ki Kiyat, dan gunungan apem wadon, dikenal dengan nama Nyi Kiyat

Suasana rebutan apem di lapangan dekat Masjid Besar Jatinom benar-benar meriah,ribuan pengunjung berebut apem

Makna Kue Apem :

Menurut kepercayaan orang banyak, apem yaaqowiyuu yang artinya Tuhan mohon kekuatan itu bisa untuk tumbal, tolak bala, atau syarat untuk berbagai tujuan. Bagi petani, bisa untuk tumbal sawahnya menjadi subur dan tanaman padi selamat dari segala bencana dan hama penyakit, bagi Pedagang agar supaya dagangannya laris bahkan, ada yang percaya siapa yang mendapat banyak apem pada perebutan itu sebagai tanda akan memperoleh rezeki melimpah.

2. Upacara Bersih Sendang Sinongko

Dilaksanakan di desa Pokak, kec. Ceper, kab Klaten, Menurut cerita, dahulu terdapat sebuah Kadipaten yang berbatasan dengan Kadipaten Gunung Merapi di sebelah barat dan Kadipaten Gunung Lawu di sebelah timur. Rajanya bernama Adipati Ki Singodrono dengan Patihnya Ki Eropoko. Keduanya bijaksana, tekun menggeluti ilmu kebatinan dan kamuksan. Ki Eropoko mempunyai putri bernama Mas Ajeng Lulud yang cantik parasnya dan menyukai segala tari-tarian dan karawitan. Pimpinan wadyobolo di kadipaten tersebut menjadi bawahannya Nyi Roro Kidul dan setiap tahunnya di Kadipaten Gunung Merapi menyerahkan pisungsung manusia, sedang di Kadipaten Gunung Lawu berwujud hewan. Ki Singodrono dan Ki eropoko tidak setuju dengan korban manusia, maka menyebabkan keduanya muksa, Ki Singodrono muksa di Sendang Barat dan Ki Eropoko muksa di Sendang Timur. Pada suatu hari ada seorang petani mendengar suara “He, ki petani agar hasil sawahmu banyak/melimpah dan cukup untuk hidup sekeluarga dan dapat sejahtera, nanti setelah panen hendaknya kamu mengadakan sesaji di sendang ini yang berwujud nasi tumpeng dengan memotong kambing lalu dimasak dengan bumbu becek dan minumannya dawet lalu dipisung-pisungkan kepada Nyai Roro Kidul seperti Kadipaten Gunung Lawu”. Maka sehabis panen tepatnya pada waktu hari Jumat Wage diadakan sesaji seperti apa yang telah ia dengar. Lalu tradisi ini berjalan turun temurun yang dimulai pada saat petani tadi bermimpi untuk mengadakan syukuran sesuai cerita yang berkembang dan telah diyakini oleh masyarakat, menjadi suatu kepercayaan masyarakat Desa Pokak Kecamatan Ceper. Pada perkembangannya bukan dari Desa Pokak saja namun masyarakat pada umumnya ikut dalam kegiatan bersih sendang dimaksud. Masyarakat Desa Pokak merayakan ritual Bersih Sendang sebagai ungkapan rasa syukur atas semua rejeki yang telah dilimpahkan dengan diwujudkan dengan pesta sesaji dalam bentuk nasi tumpeng dan minuman dawet dengan memotong kambing sebagai persembahan. Pemotongan kambing dilakukan di bawah pohon karet yang umurnya telah ratusan tahun dan memakai alas pelataran akar pohon, sesuatu yang di luar jangkauan manusia dan seakan tidak wajar bahwa darah yang keluar dan mengucur di pelataran akar karet tersebut seakan hilang dan tidak berbekas, lenyap begitu saja, padahal kambing yang dipotong tidak kurang dari 100 ekor kambing dan berjenis kelamin laki-laki. Pada malam sebelum pemotongan kambing diadakan tahlil di pelataran sekitar sendang.

Gambar Upacara Bersih Sendang Sinongko

3. Upacara Bersih Desa Tanjungsari

Dilaksanakan di desa Ceper, kec. Ceper, Kabupaten Klaten Alkisah pada waktu pecahnya kerajaan Majapahit ada 2 (dua) orang putri kerajaan yang bernama Roro Tanjungsari dan Roro Payung Gilap yang lolos dari kerajaan dan tersesat sampai di sebuah desa yang masih berupa hutan. Karena sedih dua putri tersebut menangis terus menerus dan tidak makan minum lalu kedua putri tersebut hilang bersama raganya (muksa). Dengan hilangnya kedua putri di tempat itu timbullah pohon Dlimo, sedang buahnya setelah masak seperti emas maka desa tersebut diberi nama Dlimas. Masyarakat di Desa Dlimas pada waktu itu hidup serba kekurangan dan dapat diibaratkan sehari bisa makan, tiga hari tidak bisa makan. Pada suatu hari ada salah satu penduduk yang mendapat ilham apabila ingin kehidupannya menjadi baik maka pohon Dlimo tersebut harus dirawat (dipelihara). Alkisah setelah pohon tersebut dipelihara dengan baik ternyata kehidupan masyarakat di Desa Dlimas menjadi baik, dan setelah pohon Dlimo itu mati di tempat tersebut ditanami pohon Tanjung dan di dekat pohon Tanjung dibuat dua arca yaitu Tanjungsari dan Payung Gilap. Dengan perubahan nasib/kehidupan masyarakat Desa Dlimas dari serba kekurangan menjadi serba kelebihan maka timbullah kepercayaan bahwa pada tiap-tiap bulan Syura yang jatuh pada hari Jumat Wage diadakan upacara selamatan dan Tayuban dan dilakukan setelah sholat Jum’at dengan cara para penduduk membawa hidangan/ambeng dan dibawa di suatu tempat di bawah pohon Tanjung. Setelah upacara selamatan selsai maka dilanjutkan dengan upacara Tayuban/Janggrungan. Upacara ini diberi nama Tanjungsari/Tanjungsaren karena dilakukan di bawah pohon Tanjung. Sedang upacara Tayuban (Janggrungan) dilakukan karena kedua putri tersebut pada waktu di Kraton kesenangannya menari Srimpi. Tari Tayub di Dlimas ini sangat berlainan karena sifatnya upacara suci, penari ini dilakukan putra dan putri mula-mula suami istri, perkembangan sekarang pada waktu upacara si istri tidak datang lagi mengingat di rumah banyak tamu yang datang. Upacara tersebut diteruskan malam-malam berikutnya dengan pertunjukan ketoprak, wayang orang, wayang kulit, dan lain-lain. Banyak masyarakat dari daerah lain yang berdatangan untuk berjualan, mendirikan stand kerajinan, permainan anak-anak dan lain-lain sehingga terwujud suatu pasar malam yang berlangsung beberapa hari. Upacara tradisional Tanjungsari terus berkembang dan pengunjungnya bertambah banyak. Upacara ini sudah menjadi kepercayaan penduduk Dlimas dan mereka yang bekerja di luar Kota Klaten pun berusaha untuk datang/pulang untuk mengikuti upacara tersebut.

4. Upacara Padusan

Dilaksanakan di Desa Cokro, Kec. Tulung & Desa Jambean, Kec. Karanganom Kab klaten, Upacara Padusan ini biasanya dilakukan di obyek wisata Pemandian Jolotundo, Sumber Air Ingas, Ponggok, Lumban Tirto dan Tirto Mulyono sehari sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kegiatan ini didatangi oleh beribu-ribu pengunjung yang memiliki kepercayaan bahwa mereka harus mensucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Menurut kepercayaan budaya dan kebiasaan tradisional orang Jawa pada umumnya bagi yang menganut agama Islam, mempunyai anggapan bahwa sebelum menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan perlu mensucikan diri. Masyarakat Jawa menyebutnya dengan Padusan yaitu mandi di pemandian tersebut di atas agar puasanya dapat berjalan lancar, berjalan dengan baik sehingga banyak pengunjung yang datang ke obyek wisata pemandian tersebut.

Gambar Upacara Padusan

5. Upacara Ruwahan/Jodangan

Dilaksanakan di Desa Paseban, Kec. Bayat Kabupaten Klaten, Upacara Ruwahan/Jodangan dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon pada tanggal 27 Ruwah di Desa Paseban Bayat. Hal ini terjadi karena masyarakat khususnya di Bayat tidak dapat melupakan jasa-jasa Kyai Ageng Pandanaran yang telah ikhlas meninggalkan jabatan dan harta kekayaan, semata-mata untuk mencari kebahagiaan dan kesempurnaan di akhirat. Beliau diangkat menjadi wali pada hari Jum’at Kliwon tanggal 27 Ruwah setelah menjadi wali penutup, menggantikan wali Syeh Siti Jenar selama 25 tahun. Maka tiap-tiap tanggal 27 Ruwah ditetapkan sebagai hari Jodangan/Ruwahan, timbullah suatu kepercayaan dari masyarakat bahwa pada hari Jodangan/Ruwahan semua penduduk membuat hidangan/kenduri yang ditempatkan pada Jodang untuk dibawa bersama-sama naik ke Makam Kyai Ageng Pandanaran dengan diiringi Reog atau Rodad. Para penduduk berkumpul di gapura pertama yang tercantum sengkalan Murti Sariro Jlengging Ratu (berarti tahun berdirinya gapura 1488). Setelah perlengkapan lengkap mulailah para wanita nyunggi tenong dan para pria memikul jodang diiringi dengan Reog/Rodad berjalan perlahan-lahan menuju gapura kedua yang bernama Segoro Muncar yang di sebelah kanan gapura terdapat langgar sedang di kirinya terdapat sebuah bangunan yang disebut Balai Rante. Iring-iringan berhenti sejenak. Reog/Rodad berhenti di Balai Rante untuk terus mengadakan pertunjukan, sedang pembawa jodang terus menaiki undak-undakan. Tangga batu berakhir pada sebuah Masjid yang terdapat bangsal pria yaitu Bangsal Jawi, setelah melewati gapura Pangrantunan sampai pada bangsal wanita yaitu Bangsal Jero. Dengan melalui tiga gapura lagi yaitu Pangemut, Pamuncar, dan Bale Kencur sampailah pada pendopo Praboyekso. Disinilah para pembawa jodang berhenti untuk mengadakan upacara selamatan dengan membaca tahlil dan doa. Setelah upacara selesai para sesepuh/orang terkemuka menaiki tangga batu yang di kiri kanannya terdapat sepasang Gentong Sinogo dan setelah melalui gapura terakhir sampailah pada Gentong Intan tempat dimana Sunan Tembayat dimakamkan dengan kedua istri beliau. Para sesepuh dan pemuka agama dan orang-orang terkemuka mengadakan upacara penggantian Singep ini, upacara tradisional Jodangan/Ruwahan dianggap telah selesai dan diteruskan kembul bersama, hidangan dibagi-bagikan pada semua yang datang dan sebagain dibawa turun untuk pemain Reog/Rodad. Upacara Jodangan/Ruwahan ini berjalan tiap-tiap tahun setelah sholat Jum’at dan satu minggu sebelum hari pelaksanaan diadakan upacara membersihkan makam yang berada di komplek makam Sunan Tembayat, satu minggu sebelum hari pelaksanaan tempat ini sudah ramai dikunjungi orang.


Gambar Upacara Ruwahan/Jodangan

6 Upacara Syawalan

Dilaksanakan di Desa Krakitan, Kec. Bayat Klaten, Alkisah pada jaman dahulu di Wirotho tanah Jeporo berdiri sebuah kerajaan yang dipimpin oleh Sang Ratu Worosingo. Dalam menjalankan pemerintahan Sang Ratu selalu memegang keadilan, jujur dan mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Sang Ratu mempunyai putera satu-satunya yang bernama Pangeran Adipati Patohan yang selalu dididik dalam kejujuran dan diharapkan dapat menggantikan Sang Ratu sebagai Raja. Di lain pihak terdapat Kerajaan Keling yang dipimpin Sang Prabu Dewi Wahdi yang sangat cantik jelita. Sang Prabu adalah seorang raja yang kaya raya yang pada waktu menyetujui puterinya untuk dipersunting Pangeran Patohan. Pada suatu hari Sang Prabu memerintah Sang Patih disertai beberapa prajurit dengan diam-diam meletakkan peti kencana yang berisi emas dan berlian di tanah Kerajan Kerajaan Wirotho dengan maksud untuk membuktikan kejujuran Sang Ratu yang tersohor tidak berkeinginan memiliki harta orang lain. Pada suatu hari Pangeran Patohan disertai abdi kinasihnya Kyai Sidhoguro dan para punggowo projo baru tegar jalan keliling kerajaan. Tiba-tiba kaki kuda yang dinaiki Pangeran Sidhoguro menginjak peti kencono yang mengakibatkan Pangeran Patohan terjatuh dan terkilir kakinya. Sesampainya di kerajaan Kyai Sidhoguro melaporkan apa yang telah terjadi kepada Sang Ratu namun Sang Ratu tetap menyalahkan puteranya dan harus dihukum meskipun Sang Pangeran merupakan putera satu-satunya. Hukum harus dijalankan tanpa pandang bulu, dan kaki Sang Pangeran sebelah kiri dipotong sampai pergelangan tapak kaki dan diharuskan meninggalkan kerajaan. Sang Pangeran diikuti oleh abdi kinasihnya Kyai Sidhoguro menuju ke Gunung Botak Kalikuning, sesampainya di tempat tersebut dengan tekun mereka mengobati kaki Sang Pangeran dengan memasukkan dalam ember tanah yang di dalamnya ada airnya. Akhirnya Sang Pangeran Sembuh dan mendidikan Kadipaten.

Gambar Upacara Syawalan

7. Upacara Maleman

Alkisah pada bulan bulan romadhon adalah merupakan bulan suci, bulan yang penuh rahmat dan barokah bagi umat Islam, upacara ini konon kisahnya bermula di sekitar Masjid Mlinjon, pada malam 21 bulan romadhon, menurut keyakinan kaum muslimin adalah malam turunnya : Lailatulqodar yang artinya malam yang lebih baik dari seribu malam.

Malam itu malam yang penuh selamat sejahtera sampai terbit fajar. Pada malam malam itu Masjid Mlinjon dipenuhi oleh kaum muslimin untuk menunaikan sholat tarawih yang diteruskan dengan tadarusan Al Quran sampai larut malam menjelang suhur, bagi masyarakat umum ikut menghormati malam bahagia itu dengan jalan jalan atau cegah lek sampai larut malam bahkan ada yang sampai terbit matahari dengan harapan agar mendapat Lailatulqodar.

Disekitar Masjid Mlinjon itu banyak orang yang berjualan, mendirikan stand kerajinan, mainan anak anak maka lokasi tersebut menjadi ramai. Maka keramaian tanggal malam 21 Romadhon merupakan tradisi tiap tiap tahun diadakan. Pada suatu ketika Sinuhun Paku Buwono ke X berkenan sholat tarawih di Masjid Mlinjon serta menyaksikan adanya keramaian tersebut dan alun alun Klaten dekat nDalem Kadipaten (sekarang gedung RSPD).

Upacara tradisional Maleman di alun alun ini berjalan baik, bahkan dari tahun ke tahun semakin berkembang keramaiannya. Upacara tradisional Maleman di alun alun Klaten berjalan rutip tiap tiap tahun yang dimulai dari tanggal 12 Romadhon sampai dengan Hari Raya Idhul Fitri yang diteruskan dengan Upacara Syawalan di Jimbungsekarang upacara tmaleman dilaksanakan di monumen juang 45 Klaten utara dengan menampilkan nuansa islami

8. Upacara Memuli

Dilaksanakan di Desa Bawak, Kec. Cawas Klaten, Upacara Memuli merupakan upacara yang dilaksanakan setahun sekali, khususnya pada saat setelah panen ketiga. Upacara ini dimaksudkan untuk memanjatkan puji syukur ke Hadirat Yang Maha Esa atas limpahan berkah-Nya karena mereka (masyarakat) telah dikaruniai keberhasilan dalam bentuk panen padi yang ketiga dalam setahun. Upacara Memuli memiliki karakteristik yang serupa dengan upacara Bersih Desa.


Gambar Lokasi Upacara Memuli

9. Upacara Sadranan

Dilaksanakan di Desa Ringinputih, Kec. Karangdowo Klaten, Upacara Sadranan merupakan upacara yang dilaksanakan setahun sekali, khususnya pada saat setelah panen dengan suguhan khas berupa tari Tayub. Upacara ini dimaksudkan untuk memanjatkan puji syukur ke Hadirat Yang Maha Esa atas limpahan berkah-Nya karena mereka (masyarakat) telah dikaruniai keberhasilan dalam bentuk panen padi yang melimpah. Upacara Sadranan memiliki karakteristik yang serupa dengan upacara Bersih Desa.

Gambar Upacara Sadranan


Oleh : UUN Reksobuwono

http://nonobudparpora.wordpress.com/yaaqowiyuu/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar